Selamat datang ke MRII Bern.

Kami senang atas kunjungan anda ke website kami. Kami berharap Saudara mendapatkan informasi yang diperlukan dan semoga artikel-artikel yang dimuat dapat menjadi berkat juga. Terlebih lagi, kami berharap bisa bersekutu bersama dengan Saudara di Kebaktian Minggu.


TRANSAKSI - oleh Ev. Yadi S. Lima

Matius 13: 44-45
Matius 19: 16-26

He is no fool who gives what he cannot keep to gain what he cannot lose.” - Jim Elliot

Ketika seseorang membeli sebuah barang yang sungguh-sungguh disukainya, ia tidak melihatnya sebagai hari dimana ia kehilangan uang, tetapi suatu hari dimana ia mendapatkan apa yang telah lama diidam-idamkannya. Sebagai contoh, ketika hari launching suatu gadget yang telah lama ditunggu-tunggu, anda akan melihat ratusan, bahkan terkadang ribuan orang rela antri berjam-jam untuk menukarkan uangnya dengan iPad, iPhone, Galaxy TAB, atau gadget lain generasi terbaru. Dimata seseorang yang tidak antusias, perilaku seperti ini sulit dipahami. Mengapakah orang rela begitu bersusah payah untuk sesuatu yang tanpanya toh hidup kita baik-baik saja? Sudah jelas dari perilaku ini bahwa dalam persepsi massa yang sedang antre itu, barang yang sedang dibeli memiliki nilai yang amat tinggi – nilainya jauh melebihi uang yang kita bayarkan, sekalipun kita harus mengantre berjam-jam untuk itu. Dalam sebuah transaksi yang bebas, tentulah si penjual maupun pembeli merasadiuntungkan. Si penjual puas dengan laba yang dia dapatkan, sementara si pembeli membawa pulang dengan bahagia barang yang dibelinya. Pembeli yang melepas uangnya demi mendapatkan barang merasa nilai barang yang dibelinya itu lebih tinggi daripada uang yang dilepas – demikian sebaliknya. Perbedaan antara orang yang merasa bahwa transaksi itu worthed dan orang-orang lain yang tidak dapat mengerti mengapa beberapa orang rela antre berjam-jam di malam-malam bulan Desember yang dingin untuk mendapatkan sebuah mainan baru yang tanpanya pun kita tidak akan mati adalah ini: persepsi nilai atas barangnya.

Di dalam salah satu perumpamaan, Yesus menggambarkan kerajaan Allah seumpama orang yangmenjual segala miliknya demi membeli sebidang tanah yang mengandung harta karun atau untukmembeli sebutir mutiara yang paling luar biasa indah yang dia pernah lihat (Mat 13: 44-45). Apakah yang membedakan orang ini dengan orang-orang lain? Jawabannya tentu adalah orang-orang lain tidak akan rela menjual segala miliknya demi ladang itu (karena tidak tahu ada harta karun di bawahnya) ataupun demi mutiara itu (buktinya mutiara itu tidak laku-laku sejauh ini, sampai si saudagar menemukannya). Mengapakah ia rela menjual segala miliknya demi pembelian itu sementara orang-orang yang lain tidak? Karena orang-orang lain tidak melihat nilai yang menguntungkan dari transaksi itu. Demikianlah dengan hal kerajaan Allah: kerajaan itu cukup berharga untuk ditukarkan dengan segala sesuatu yang kita miliki, cukup berharga – bahkan harganya melampaui segenap hidup kita, segenap milik kita. 

Orang muda yang kaya dalam perumpamaan Yesus di dalam Matius 19: 16-26 adalah jenis orang yang tidak merasa bahwa kerajaan Allah sebagaimana datang di dalam Yesus Nazaret sebagai cukup berharga untuk ditukarkan dengan seluruh hartanya (Mat 19: 22). Seringkali bagian ini hanya ditekankan urusan tingkat radikalitas komitmen yang Tuhan Yesus tuntut dari murid-murid-Nya, tetapi sesungguhnya bukan hanya itu urusannya. Orang muda yang kaya ini 'telah menuruti semuanya itu' – yaitu Taurat, ungkapan isi hati Allah Abraham, Ishak dan Yakub, pencipta langit dan bumi. Sebenarnya berbagai golongan-golongan besar di antara orang-orang Yahudi di jaman Yesus Kristus juga menuntut komitmen yang tidak setengah-setengah dari para pengikutnya. Orang-orang Farisi menuntut radikalitas ketaatan pada Taurat sampai kepada hal yang sekecil-kecilnya. Kita bisa membayangkan Abraham Kuyper versi Farisi mungkin berkata, “Tidak satu inchipun dari hidup manusia dimana Hukum Allah tidak berkata: itupun adalah milik Allah bagi kemuliaan-Nya!” Orang-orang Farisi percaya bahwa Hari Tuhan itu akan datang setelah segenap Israel bertobat dari jalannya yang jahat dan dari ketidak-setiaannya pada perjanjian dengan Allah nenek moyang mereka. 

Demikian dengan versi militan dari Farisi, yaitu orang-orang Zealot, yang percaya bahwa Kerajaan Allah akan datang, Allah akan kembali menyayangi umat-Nya dan bangun membelanya, seperti seorang Pahlawan gagah perkasa yang baru bangun dari tidur, mereka percaya bahwa jalan Tuhan adalah jalan Pedang. Seperti halnya dalam jaman Musa, Yosua dan Hakim-Hakim, Allah akan menyertai mereka dalam peperangan yang berani melawan orang-orang tidak bersunat itu! Sejarah mencatat komitmen mengagumkan dari orang-orang Zealot ini. Mereka disiksa tiada ampun jika tertangkap, tetapi mereka teguh berpegang pada janji Allah YHWH. Tentu saja bukan sekedar komitmen tiada kompromi yang dikehendaki Yesus Kristus, tetapi komitmen kepada Diri-Nya sendiri! Yang dituntut Yesus dari orang muda yang kaya ini adalah agar ia meninggalkan apa yang selama ini telah dianggapnya sebagai bukti bahwa Allah berkenan, yaitu kekayaan dan hidup yang mapan serta dihormati, lalu mengikuti jalan Yesus – yang belakangan ketahuan adalah jalan salib! Jalan salib adalah jalan yang di mata orang-orang Israel merupakan jalan kekalahan dan kematian. Yesus menuntut orang muda yang kelihatannya hanya bertanya mengenai bagaimana menyempurnakan apa yang sudah baik dan benar dalam hidupnya untuk sama sekali membuang apa yang selama ini menjadi pegangannya. 

Jadi seumpama orang muda ini bertanya kepada Yesus topping apa yang sebaiknya ditaruh di atas kue taart-nya yang tersohor dan terpuji-puji itu, krim coklat ataukah strawberry? Lalu Yesus mengatakan bahwa ia harus membuang kue taart-nya itu, menjual tokonya, lalu pergi mengikut Yesus. Dari reaksinya (sedih, bukan marah atau menghina Yesus) kita tahu bahwa hati pemuda ini terkoyak antara kegalauan yang samar-samar bahwa apa yang selama ini dijalaninya sebagai 'jalan Allah' mungkin mengandung kesalahan mendasar yang serius dengan ketidak-relaan untuk membuang apa yang selama ini telah terbukti cukup baik untuk hidupnya. Memang saingan berat dari jalan terbaik bukanlah jalan-jalan yang jelas-jelas buruk, melainkan jalan-jalan lain yang terlihat baik, atau bahkan: yang selama ini telah terbukti baik. Sayang sekali kali itu si pemuda pergi dengan sedih. Ia tidak rela membuang apa yang baik, demi apa yang sungguh-sungguh menghidupkan. [J.S. Lima]


Tidaklah bodoh untuk melepaskan apa yang tidak dapat dipertahankan (yaitu: hidup) untuk mendapatkan apa yang tidak dapat hilang (yaitu: hidup di dalam Yesus).”

(Jim Elliot – 1927-1956, misionaris kepada suku Indian Auca, Ekuador)