Selamat datang ke MRII Bern.

Kami senang atas kunjungan anda ke website kami. Kami berharap Saudara mendapatkan informasi yang diperlukan dan semoga artikel-artikel yang dimuat dapat menjadi berkat juga. Terlebih lagi, kami berharap bisa bersekutu bersama dengan Saudara di Kebaktian Minggu.


Ringkasan khotbah 5 Juli 2009

Lukas 15:11-32 Perumpamaan Anak yang Hilang

Dalam Lukas 15 terdapat 3 perumpamaan yang diceritakan oleh Tuhan Yesus sebagai jawaban atas sungut-sungutan orang Farisi yang melihat Tuhan Yesus menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka. Ketiga perumpamaan ini saling berkaitan. Saat ini kita akan melihat perumpamaan yang ketiga, yaitu tentang anak yang hilang, tetapi kita tidak boleh melupakan penekanan yang terdapat dalam kedua perumpamaan yang mendahului.

Pada perumpamaan anak yang hilang, terkesan seakan-akan anak yang hilang tersebut yang mengambil inisiatif untuk kembali kepada bapanya, setelah ia mengalami kelaparan dan kesusahan, maka ia pun insaf dan kemudian bangkit dan pergi kembali ke rumah bapanya (ayat 18-20). Sedangkan bapanya hanya menunggu dan melihat dari kejauhan, seolah-olah pasif. Dari sini ada orang mungkin mengambil kesimpulan bahwa pertobatan itu jadinya adalah inisiatif dari si pendosa yang menyadari keadaannya kemudian kembali kepada Bapanya yang dengan sabar menunggu.

Ini konklusi yang timpang kalau kita tidak melihat penekanan pada perumpamaan yang pertama dan kedua. Dalam perumpamaan domba yang hilang dan dirham yang hilang, kita melihat dengan jelas sekali si gembala dan si perempuan mencari dengan begitu giat, bahkan meninggalkan yang banyak lainnya dan mencari si satu yang hilang itu. Ini menyatakan Allah yang aktif mencari manusia yang berdosa yang tidak dapat mencari jalan pulang mereka sendiri.

Ada penafsir yang memperhatikan dan mengambil konklusi yang tepat, bahwa dalam perumpamaan domba yang hilang, yang hilangnya itu 1 dari 100 berarti 1 persen yang hilang. Kemudian dalam perumpamaan dirham yang hilang, yang hilangnya itu 1 dari 10 berati 10 persen yang hilang. Sedangkan dalam perumpamaan anak yang hilang, apakah yang hilang itu 1 dari 2 sehingga 50% yang hilang? Tidak, sesungguhnya adalah 100% yang hilang, karena sesungguhnya anak yang sulung itu juga hilang, walaupun ia terus tinggal di rumah bapanya, tetapi sebenarnya ia telah hilang status anaknya dan hanya memegang status seorang pelayan.

Dari perumpamaan ini kita dapat menghayati dua ekstrim keadaan manusia. Yang pertama direpresentasikan oleh anak yang bungsu. Ia begitu memegang status keanakannya, sehingga ia begitu berani meminta bagian warisan miliknya. Sebenarnya mendapatkan bagian warisan miliknya tidaklah salah sama sekali, karena itu memang sudah dipersiapkan untuk dia. Dia bukannya meminta warisan untuk kakaknya. Tetapi yang menjadi permasalahan di sini ialah, ia meminta tidak dengan motivasi yang benar, yaitu ia ingin menghambur-hamburkannya, dan juga tidak pada waktu yang benar, karena ayahnya masih ada. Anak ini begitu mementingkan status ‘sonship’ nya dia, dan yang sebenarnya diincar adalah harta yang menjadi bagian dia, yang menjadi paket dari ‘sonship’nya. Ia tidak menikmati hubungan yang indah dengan ayahnya tetapi ia malahan mencari dan mementingkan materi dan warisan yang menjadi bagian dari paket sebagai anak.

Ketika ia habis menghamburkan bagian warisannya, sampai dia harus kerja di kandang babi dan menderita kelaparan, baru dalam keadaan demikian, Tuhan membukakan hatinya untuk sadar dan bertobat. Sering Tuhan mengijinkan kita masuk dalam keadaan yang sulit dan tidak enak. Bahkan kalau kita renungkan, sering Tuhan bertindak seperti bapa dari anak ini. Bapa ini tahu kalau dia berikan bagian warisan bagi anak bungsunya, ia akan hidup bebas dan menghabis-habiskan uangnya dan masuk dalam penderitaan. Terkadang Tuhan juga membiarkan hal demikian terjadi kepada kita. Karena itu, jangan selalu anggap kalau kita meminta sesuatu kepada Tuhan, kemudian ketika kita mendapatkannya, maka itu berarti Tuhan memberikan sesuai dengan kehendakNya. Belum tentu! Bisa saja Tuhan membiarkan kita mendapatkan apa yang kita maui sesuai kehendak kita, bukan kehendak Tuhan, tetapi itu sebagai suatu hukuman yang harus kita sendiri yang tanggung. Karena itu baiklah kita meminta sesuatu kepada Tuhan, sesuai dengan kehendak Tuhan.

Tapi kita juga melihat dalam kasus anak bungsu ini, akhirnya Tuhan dapat juga memakai penderitaan yang ia alami untuk menginsafkan dia. Ini semua hanya berkat pemeliharaan Tuhan semata-mata. Ketika kita membaca proses pertobatannya, ini sangatlah menggugah hati. Dari ayat 18-24, kita melihat pertama-tama ada perubahan dalam hati anak itu. Dia sadar bahwa ia telah berdosa. Dia baru sadar betapa menyedihkannya hidup sebagai hamba, bahkan hamba di rumah bapanya mendapatkan kehidupan yang jauh lebih baik dari yang ia alami sekarang. Dia juga sadar bahwa ia tidak layak lagi bertemu ayahnya. Ia lebih layak disebut pelayan daripada disebut anak. Di sinilah paradoks yang dapat kita petik. Ketika dulu ia terus menganggap diri sebagai anak dan melihat segala benefit yang terkait dengan status tersebut, maka sesungguhnya ia telah kehilangan relasi antara anak dengan ayahnya. Tetapi sekarang, ketika ia sadar bahwa ia tidak layak menjadi anak, bahkan lebih layak dipanggil pelayan, maka bapanya pun memulihkan posisinya sebagai anak. Bapanya merangkul dan mencium dia, memberikan segala yang terbaik kepada dia, bahkan mengadakan suatu pesta sukacita yang begitu besar untuk dia, karena sesungguhnya, ketika anak itu menganggap diri tidak layak, maka ia dilayakkan oleh bapanya. Betapa indahnya paradoks ini.

Demikian juga dengan kita, ketika kita terus menerus menyatakan diri sebagai anak Raja, dan melihat segala berkat-berkat yang terkait dengan status sebagai anak Raja, tetapi tidak mencari wajah Bapa kita di surga, maka kita sesungguhnya telah hilang. Ketika kita menyadari kebobrokan kita, ketidaklayakan kita, bahwa kita lebih layak disebut pelayan, maka Tuhan sendiri yang akan mengangkat kita menjadi anak Raja yang hidup.

Tadi kita katakan bahwa yang hilang bukan saja anak bungsu tetapi juga anak sulung. Hal ini benar adanya. Kita melihat di ayat 12 bahwa sesungguhnya bapa itu telah membagi-bagikan hartanya bukan hanya kepada anak yang bungsu, tetapi juga kepada anak yang sulung. Jadi sebenarnya anak sulung itu juga telah mendapatkan bagiannya pada saat yang bersamaan ketika anak bungsu itu mendapatkan bagiannya. Di sisi yang satu, anak bungsu langsung menghamburkan warisannya, di sisi yang lain, anak sulung tidak berbuat apa-apa sama sekali mengenai warisannya, dan ia bahkan masih menganggap diri sebagai pelayan bapanya (ayat 29). Sungguh sedih sekali, ia selama ini tinggal di bawah satu atap yang sama dengan ayahnya tetapi ia memperlakukan diri sebagai pelayan dan tidak sebagai anak. Sampai bapanya berkata di ayat 31: ‘Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu.’ Ini adalah contoh orang yang mengaku Kristen dan hidup dalam kekuatan sendiri tetapi tidak ada sukacita dalam suatu relasi anak Allah dengan Bapanya. Ia begitu formal, ia menjalankan segala peraturan dan perintah dengan penuh ketaatan. Ia begitu sempurna, saking sempurnanya sehingga tidak ada ruang dalam hatinya untuk berbelas kasihan ataupun bersimpati kepada orang yang gagal, orang yang melanggar hukum kemudian bertobat. Ini adalah kondisi ekstrim lainnya, yang sayangnya banyak dijumpai di dalam gereja juga.

Kiranya ini boleh menjadi peringatan dan renungan bagi kita semua. Allah telah berinisiatif datang mencari kita, ketika kita masih berdosa dan tidak mampu keluar dari keberdosaan kita. Kemudian ia memberikan kepada kita status anak, tetapi bukan hanya status, melainkan suatu hubungan yang hidup. Allah adalah Bapa kita, dan kita anak-anakNya, kita yang sebenarnya tidak layak. Kiranya kita menikmati hubungan kita dengan Allah Bapa kita, dan tidak fokus pada berkat-berkatNya. Kiranya kita juga boleh mempunyai hati yang mengasihi dan mengasihani orang berdosa lainnya.

(Pdt. Billy Kristanto)
Ringkasan khotbah belum dikoreksi Pengkhotbah.